PUSAKA SAUJANA DI KAWASAN LEMBAH BADA


PUSAKA SAUJANA DI KAWASAN LEMBAH BADA

Pusaka saujana adalah sebuah bidang baru yang diterapkan di indonesia. Pusaka Saujana merefleksikan hubungan antara pusaka alam dan pusaka budaya dalah kesatuan ruang yang luas dan waktu yang lama. Pusaka alam merupakan bentukan alam secara alamiah seperti gunung, hutan, danau dll. Sedangkan pusaka budaya adalah hasil cipta rasa, karsa dan karya manusia antara lain tradisi, kepercayaan dan cara hidup (Rahmi,2012 ) Di Indonesia yang terdiri atas banyak pulau dan budaya masyarakat yang khas memiliki banyak kawasan pusaka saujana yang sangat beragam, dikarenakan kawasan-kawasan tersebut memiliki nilai sejarah yang kuat, kondisi geografis yang khas, serta keberagaman budaya masyarakat yang masih beragam. Salah satu kawasan pusaka saujana di Indonesia adalah di kawasan Lembah Bada.
LOKASI
Kawasan Lembah Bada secara administratif berada dalam wilayah Kecamatan Lore Selatan dengan ibukota Gintu. Lembah ini dikelilingi oleh pegunungan tinggi, terletak pada ketinggian antara 750 m sampai 1250 m dari permukaan laut dengan letak koordinat 1O  43' 05" Lintang Selatan dan 120011’03" Bujur Timur. Di lembah ini mengalir sebuah sungai besar yaitu Sungai Lariang (Balanta) yang membelah wilayah ini menjadi meander-meander. Di sebelah utara dan tengah Lembah Bada terdapat Lembah Napu dan Lembah Besoa yang masuk ke dalam wilayah Kecamatan Lore Utara dan Lore Tengah Kabupaten Poso (Lufpi,2002).
SEJARAH
Puluhan patung purbakala ini kabarnya sudah ada sejak abad ke-14. Megalit di Lembah Bada ditemukan pertama kali pada 1908. Walaupun penemuan tersebut sudah berlangsung lebih dari 100 tahun, tetapi hanya sedikit hal yang diketahui tentang objek itu, salah satunya tentang kapan patung batu itu dibuat. Beberapa orang berspekulasi bahwa batu-batu tersebut dipahat sekitar 5.000 tahun lalu, sedangkan lainnya menduga megalit itu dibuat sekitar 1.000 tahun silam.
Sementara itu, beberapa orang lainnya menduga bahwa batu tersebut masih berhubungan dengan budaya megalitik di Laos, Kamboja, dan beberapa wilayah di Indonesia pada 2.000 tahun lalu.
Menurut Ancient Origins, hingga saat ini tak diketahui siapa yang membuat patung megalit di Lembah Bada. Meskipun terdapat dugaan bahwa batu itu dibuat oleh budaya yang membuat megalit di tempat lain di Asia Tenggara, tetapi megalit di Lembah Bada tergolong unik.
Namun dalam catatan A.C. Kruyt, pendiri Kota Poso, sebelum kedatangan Belanda tahun 1908 di Lore, masih berlaku orang membuat kubur dari batu. Dan masih ada tempat pembuatan Kalamba untuk penguburan. Jadi pemuatan benda-benda ini berasal dari berbagai masa, yang di antaranya ada yang berasal dari masa yang dekat ratusan tahun saja atau megalit muda.

GEOGRAFI
Lembah Bada terletak di daerah yang relatif datar, yang dikelilingi perbukitan, sehingga awan yang tertahan di puncak bukit yang mengelilingi lembah menyajikan pemandangan dramatis. Sering terlihat satu bagian Lembah Bada dimana hujan sedang jatuh, sedangkan bagian lainnya matahari menyelinapkan cahayanya dari balik awan.
PUSAKA ALAM
·         Panorama alam 
Lembah Bada memiliki pemandangan yang spektakuler. Sebuah daerah yang relatif datar, yang dikelilingi perbukitan, sehingga awan yang tertahan dipuncak bukit yang mengelilingi lembah menyajikan pemandangan dramatis. Sering terlihat satu bagian Lembah Bada dimana hujan sedang jatuh, sedangkan bagian lainnya matahari menyelinapkan cahayanya dari balik awan. Jika angin bertiup keras maka terlihat tirai hujan yang berjalan menyapu lembah.

·         Sungai Lariang 
Di tengah Lembah Bada mengalir Sungai Lariang, dan kemudian Sungai Malei menyatu dengan Sungai Lariang, menambah derasnya aliran Sungai Lariang. Karena inilah Sungai Lariang dahulu pernah dipakai sebagai tempat olahraga pengarungan sungai. Di tengah Lembah Bada sendiri arus Sungai Lariang cukup tenang karena alur yang dilalui relatif datar. Namun setelah kembali memasuki celah-celah bukit, maka jeram yang dihasilkan dapat mencapai kelas IV-V.

·         Pertanian Tradisional

 Sebagian besar penduduk di Lembah Bada menggantungkan mata pencarian mereka dengan bertani dan berladang. Hal tersebut dapat terlihat dari banyaknya lahan persawahan dan ladang  yang dibuat oleh penduduk setempat dengan menggunakan metode tradisional. Penggarapan lahan sawah dan ladang dengan teknik tradisional dapat dijadikan daya tarik wisata tersendiri sebagai sebuah ‘living attraction’.
PUSAKA BUDAYA
·         Pusaka Budaya Berwujud (Tangible)
PATUNG MEGALIT

KARAKTERISTIK

Patung Megalitik di Lembah Bada merupakan wajah manusia yang sudah distilasi, dimana alis dan hidung digambarkan menjadi satu, sedangkan bagian mulut dihilangkan. Patung di Lembah Bada umumnya memiliki tanda gender yang jelas. Di patung Palindo dan Meturu terukir gambar alat kelamin laki-laki. Dan sedangkan pada patung Langke Bulawa digambarkan alat kelamin wanita. Perbedaan gender juga digambarkan pada raut wajah, dimana pada patung wanita, wajahnya digambarkan seperti dahi yang tertutup poni.  
Pahatan pada megalit tersebut juga dideskripsikan minimalis. Tokoh tersebut biasanya digambarkan memiliki kepala besar dengan tubuh tanpa lekukan serta tanpa kaki. Pada bagian wajah, biasanya digambarkan dengan mata bulat dengan garis tunggal yang merepresentasikan alis, pipi, dan dagu. Sebagian besar patung tampak berdiri sendiri, tetapi ada beberapa yang ditempatkan secara berkelompok. Batuan-batuan megalitik ini terhampar di seluruh daerah lembah. Dari yang berbentuk ukiran manusia, hewan, Kalamba dan masih banyak lagi.[2]
Patung-patung manusia lainnya berukuran tinggi sekitar 1,5 meter dengan diameter sekitar 50 cm. Selain patung manusia dewasa terdapat patung Oba yang berukuran tinggi 70 cm dengan raut jenaka, dan tanda kelamin yang belum jelas. Warga menyebutnya sebagai bentuk kera, tetapi juga bisa diartikan sebagai representasi anak-anak.

KALAMBA

Kalamba merupakan artefak berbentuk tempayan besar bertutup berdiameter 1,5-2 meter, serta berbentuk tangki melingkar yang dipahat dari sebuah batu besar yang dahulu sepertinya digunakan untuk tempat penyimpanan. Mengenai apa yang disimpan didalamnya masih merupakan spekulasi. Bisa jadi tempayan ini dipakai untuk menyimpan air, barang-barang berharga, atau malah merupakan peti mati purbakala. Warga sekarang menyebutnya dengan Kalamba. Ada sekitar 50 buah Kalamba di lembah Bada, sebagian masih dalam kondisi utuh, dan sebagian lagi sudah rusak.
Kalamba dapat ditemukan di beberapa tempat di Lembah Bada dan memiliki bentuk serta ukuran bervariasi. Beberapa memiliki satu lubang di tengahnya, sementara lainnya memiliki dua lubang.[2] Menurut kepercayaan lokal, Kalamba digunakan sebagai bak berendam untuk para petinggi atau raja. Sementara yang lainnya menduga bahwa benda tersebut dulunya digunakan sebagai peti mati atau tangki air. Tutup terbuat dari batu sering ditemukan di dekat Kalamba, dan muncul dugaan bahwa benda tersebut digunakan untuk menutupi Kalamba sehingga tak mungkin digunakan sebagai bak berendam.

JUMLAH

Berdasarkan data Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sulawesi Tengah, saat ini terdapat 432 objek situs megalit di Sulawesi Tengah. Tersebar di Lore Utara dan Lore Selatan, sebanyak 404 situs dan di Kulawi, Kabupaten Sigi sebanyak 27 situs.  
Berdasarkan penelitian inventarisasi batuan megalit yang dilakukan oleh Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) Sagarmatha Fakultas Pertanian Universitas Tadulako tahun 1994, di sekitar kawasan Taman Nasional Lore Lindu terdapat 300-an lebih situs megalit ini.  
Sementara, menurut sumber data yang lain, jumlah bebatuan megalitik ini ada 1.451 buah.

·         PATUNG-PATUNG

·         WATU PALINDO

Batuan megalitik yang paling terkenal adalah Watu Palindo dengan posisi miring, yang berada di Lembah Bada. Dinamakan Palindo, yang berarti sang penghibur. Wajah Watu Palindo ini seperti berwajah ceria dan ramah. Tinggi batu ini mencapai sekitar 4 meter dengan ukiran berbentuk tubuh oval memiliki mata yang bulat dan hidung besar yang memanjang kebawah. Pahatan mulut yang dalam berbentuk sebuah senyuman melengkapi batuan megalitik ini.

·         LANGKA BULAWA

Selain Watu Palindo, Batu yang terkenal lainnya adalah Langka Bulawa. Ukiran batu ini berukiran sosok wanita dan mempunyai arti nama Ratu bergelang kaki emas. Mempunyai ukiran yang hampir sama dengan Watu Palindo tetapi mempunyai kesan raut muka sebagai sosok rumah suku Lore. Patung ini terletak 5 kilometer dari patung Palindo, tetapi di antara kedua bebatuan ini juga terdapat bebatuan lain. Batuan granit ini terkenal dengan batuan yang sangat keras. Cara mereka memahat dan menciptakan patung ini masih belum diketahui.
‐ Kerajinan dari Kulit Kayu
Penduduk Desa Tuare, salah satu Desa di Kawasan Lembah Bada, sudah sejak lama memanfaatkan kulit kayu bea (sejenis pohon beringin) untuk membuat baju, tas atau hiasan lainnya. Belakangan ini ketrampilan mereka perlahan - lahan mulai berkembang menjadi kerajinan yang mendatangkan penghasilan. Kualitas buah tangan mereka sangat baik, dan bila pemasarannya baik akan laku keras dan bisa bersaing, karena jenis kulit kayu bea yang sulit dicari, kecuali di desa mereka (Azhari, 2007). Di atas Baruga, rumah adat besar, tetua suku Lore, Lengkeka, Lore Barat, mengayunkan peboba, semacam alat pemukul dari batang enau (Arenga pimata), di atas potongan kulit kayu yang disusun berjajar. Di depannya, sekelompok wanita juga memukuli lembaran kulit kayu yang lebih halus menggunakan batu ike, alat pemukul dari lempengan batu dengan pola garis-garis yang diapit anyaman batang rotan sebagai pegangan. Seluruh proses pembuatan kain kulit kayu di Lembah Bada dilakukan secara manual menggunakan bahan alamiah yang jauh dari teknologi mekanik otomatik dan bahan-bahan kimiawi.

·         Pusaka Budaya Tak Berwujud (intangible)
 ‐ Kehidupan keseharian masyarakat (living culture) Kehidupan keseharian masyarakat perdesaan lengkap dengan bahasa dan sifat gotong-royong merupakan pemandangan yang dapat dilihat hampir setiap hari di alam perdesaan begitu pula di lembah  Bada. Sifat gotong-royong tersebut dapat dijumpai bila ada warga yang melakukan hajatan seperti pernikahan atau kegiatan dalam menyambut tamu yang berasal dari luar kampung mereka (Azhari, 2007). Kebudayaan tersebut perlu dipertahankan karena membuat masyarakat kohesif dan kondusif, merasa senasib sepenanggungan, menumbuhkan ikatan emosional dan perasaan primordial, dan membuat solid hubungan di dalamnya sehingga tidak mudah untuk terfragmentasi atau terabrasi oleh kekuatan lain yang negatif. Berdasarkan gambaran potensi yang dimiliki oleh kawasan lembah Bada baik pusaka alam maupun pusaka budaya, maka dimungkinkan kawasan ini untuk diusulkan menjadi suatu pusaka saujana pada tingkat nasional dan tidak menutup kemungkinan menjadi suatu pusaka saujana dunia.



MASYARAKAT ADAT
Terdapat Suku Lore tinggal di kawasan Lembah Bada, yang masih memegang kental adat istiadat. Kalau singgah di area ini, mereka akan dengan senang hati mempersilahkan tamu untuk menginap di tempat tinggal tradisional Suku Lore, yaitu rumah Tambi dengan bentuk unik. Rumah Tambi berbentuk panggung seperti piramida. Tidak ada dinding seperti rumah pada umumnya, karena atapnya juga berguna sebagai dinding. Bangunan terbuat dari kayu dan bambu, sedangkan atap berbahan daun rumbia atau ijuk.
KEARIFAN LOKAL
Masyarakat lokal percaya bahwa batu itu dulunya digunakan untuk melakukan pemujaan terhadap leluhur. Tak hanya itu, para penduduk juga mempunyai kisah tentang asal-usul terbentuknya megalit tersebut. Sebuah cerita mengatakan bahwa terdapat megalit bernama Tokala'ea yang dulunya merupakan pemerkosa, akhirnya dikutuk menjadi batu.  
Sementara itu, terdapat cerita tentang megalit lain bernama Tadulako. Masyarakat mengatakan bahwa dulunya Tadulako dikenal sebagai penjaga desa, tetapi setelah mencuri beras ia dikutuk menjadi batu. Cerita lain mengaitkan megalitik dengan pengorbanan manusia. Beberapa orang juga percaya bahwa batu tersebut dimaksudkan untuk menangkal roh jahat, sementara yang lain mengklaim bahwa benda tersebut memiliki kekuatan supranatural dan mempu menghilang atau berpindah tempat.

AKSES MENUJU KAWASAN
Untuk mencapai ke Taman Nasional Lore Lindu bisa menggunakan mobil pribadi. Demi mencapai lembah Bada, penunjung harus melakoni perjalanan selama 3 jam jika langsung dari Kota Palu dengan menggunakan mini bus.[5] Apabila dari Kota Palu menuju arah Kota Poso, bisa ditempuh selama 7-9 jam perjalanan. Dari Kota Poso menuju ke Tentena, kemudian menuju ke Lembah Bada bisa ditempuh selama 3 jam perjalanan. Jarak Lembah dari kota Poso kurang lebih 145 Km yang dapat ditempuh dengan kendaraan berpenggerak empat roda, atau bisa juga dari kabupaten sigi dengan jarak kurang lebih sama dengan menggunakan angkutan umum disambung perjalanan dengan ojek sepeda motor. Dari lembah Bada perjalanan dapat dilanjutkan dengan berjalan kaki (trekking) ke Besoa dan Napu. Disarankan kendaraan pribadi harus benar-benar fit karena akses jalan apabila hujan akan berlumpur tebal.
Lembah ini juga dapat dijangkau dengan pesawat dari Makassar ke Poso, dari Poso dibutuhkan waktu 5 jam dengan kendaraan roda 4, dengan kondisi jalan sudah relatif baik.

 








Komentar

Postingan populer dari blog ini

REVITALISASI SUNGAI KAWASAN MALAKA

Taman Nasional Komodo